KISAH CINTA WANITA MUALLAF YANG SANGAT MENGHARUKAN, DIJAMIN !

Cerita riil ini sangatlah inspiratif, menggugah kesadaran siapapun yang mencari kebenaran serta kebahagiaan sejati. Cerita pertamakali didapatkan Publisher th. 2006 serta ditulis oleh seseorang mahasiswi Tehnik Arsitektur Kampus T kota P (cuma dimaksud initial saja atau tempat utama Masjid kuno Melayu). Menurut catatan si penulis, cerita ini sesuai sama pembicaraan si pelaku. Serta diterbitkan atas sepengetahuan serta izin pelaku. Tempat cerita kemungkinan di Pontianak dengan Kampus Tanjungpura atau Palembang dengan Kampus Tridinanti. Tersebut cuplikan kisahnya (tulisan asli)

KISAH CINTA SEJATI WANITA MUALLAF BERJUANG MEMPERTAHANKAN IMAN

Saat sebelum mengawali narasi saya ini, izinkanlah saya untuk memohon maaf apabila ada pihak2 yg tidak sudi dengan narasi saya ini, terlebih keluargaku. Karenanya nama2 orang serta tempat akan tidak saya katakan. Saya katakan terimakasih untuk Retno (bukanlah nama sesungguhnya) dari Kampus T di kotaku P yang ingin menuliskan cerita sejati saya ini.


Semoga cerita sejati saya ini jadi ide buat orang yang membaca atau alami hal yang sama. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat serta Hidayah pada kita seluruhnya. Saya, panggil saja " Mawar ", beurusia 30-an th. dilahirkan di suatu pulau di seberang pulau Jawa, di kota P. Saya lahir juga sebagai anak paling akhir dari 4 besaudara. Kakakku pertama serta ke-2, laki2, sedang yang ketiga wanita. Kami datang dari keluarga keturunan serta kami adalah generasi ke 4 yang telah menetap di negeri ini. Kakek buyut kami pendatang dari negeri jauh dari seberang dimuka era 20. Keluarga kami mengawali usaha betul-betul dari bawah.

Menurut narasi orangtua kami, dahulu kakek buyut kami cuma berjualan dengan pikulan bahan keperluan pokok seperti gula, garam, beras dan lain-lain keluar masuk kampong. Usahanya baru berkembang cepat sesudah pada tahun2 awal kemerdekaan, pemerintah pada saat itu menggalakkan usaha yang dikerjakan oleh bangsa sendiri/pribumi. Saat itu di kenal arti Ali Baba. Ali untuk panggilan pribumi, sedang Baba untuk warga keturunan seperti kami.

Entrepreneur pribumi asli di beri keringanan perizinan usaha, bahkan juga mengimport dari negara lain, namun biasanya mereka tak mempunyai banyak modal. Saat itu banyak warga keturunan yang banyak modal beli izin usaha yang didapat pribumi, sampai mempermudah mereka lakukan export import ke negri tetangga (Singapura, Malaysia, Hongkong dan lain-lain) yang pada saat itu memanglah juga dikuasai oleh warga etnis kami.

Singkat narasi, usaha keluarga kami benar2 jadi makin besar serta merambah semua bagian, dari mulai pertambangan, tambang emas, properti, perkebunan dan lain-lain. Bisa disebut kekayaan keluarga kami telah di atas rata2 dari orang kaya di negeri ini, above than ordinary rich. Harta kekayaan kami sangat melimpah. Hingga orangtua kami kadang waktu kuatir kalau kami sekeluarga (tiba2) wafat hingga tak ada yang mengatur harta sedemikian banyak. Karenanya kami sekeluarga tak pernah lakukan perjalanan dengan pesawat dengan cara bersama2. Misal kami sekeluarga bakal lakukan berlibur ketika serta tempat yang sama, jadi umumnya kami dibagi jadi 2 atau 3 penerbangan, Ayah serta ibu satu pesawat, serta kami bekasnya juga dibagi 2 penerbangan lain. Hingga jika berlangsung suatu hal musibah, jadi bakal terus ada sisi keluarga kami yang masih tetap selamat serta terus dapat mengatur usaha serta kekayaan kami.

Saya berniat narasi panjang lebar perihal keluarga kami, karena ini bakal terkait sekali dengan cara emosi dengan kisahku setelah itu. Ayah lahir serta di besarkan di pulau ini, selepas SMA beliau meneruskan sekolah usaha di negeri H (Hongkong?) hingga demikian kembali, beliau jadi businessman handal, serta memiliki banyak rekan usaha di beragam negara. Ayah orang yang rendah hati, pendiam, bicara terarah serta sekedarnya, tidak sering geram pada anak-anaknya. Sedang ibu datang dari pulau lain, dia dahulu pernah bekerja pada perusahaan kakek (orangtua ayah), saat sebelum pada akhirnya bersua ayah serta menikah. Ibu orangnya keras, pandai, lincah, banyak pergaulan, hingga terkadang kami berpikir, ayah seperti takluk pada ibu.

Banyak kebijakan perusahaan datang dari inspirasi ibu, serta senantiasa berhasil. Ayah serta ibu, memanglah pasangan cocok, sama-sama isi kekurangan. Saat kecil saya lewati dengan penuh kebahagian. SD hingga SMA saya di sekolah swasta terpenting di kota kami, yang siswanya banyak datang dari anak petinggi, bupati, gubernur dan lain-lain. Saya berbaur dengan siapa juga tanpa ada pandang kelompok, agama serta ras. Terkadang saya diundang untuk singgah bermain ke rumah mereka (anak bupati, gubernur) sepulang sekolah, hingga saya mengetahui lebih dekat keluarganya. Ini juga yang nantinya berguna buat perusahaan keluarga saya.

Di sekolah kami, ada pelajaran agama untuk tiap-tiap pemeluknya. Ketika itu, bila ada jadwal pelajaran agama spesifik, jadi untuk pemeluk agama lain diijinkan keluar kelas, namun bisa juga terus tinggal dikelas jika menginginkan. Jadi umpamanya hari ini giliran pelajaran agama Islam, jadi murid non-muslim diijinkan meninggalkan kelas, begitupula demikian sebaliknya jika ada pelajaran agama lain. Namun saya sendiri terus tinggal di kelas dengarkan apa yang di ajarkan ibu guru agama islam di kelas kami.

Saudara2 ku seluruhnya....

Tak tahu mengapa saya yang mulai sejak lahir dididik dengan cara non muslim, bahkan juga setiap minggu saya melaksanakan ibadah ditempat beribadah kami, terasa tertarik dengan ajaran agama Islam. Saya sendiri tidak paham datangnya dari tempat mana. Sejenis ada panggilan dari hati saya yang terdalam, namun waktu itu saya pikir mungkin saja itu cuma rasa keingintahuan semata. Setiap mendengar azan, tak tahu mengapa hati saya senantiasa bergetar.

Dirumah kami yang besar, terkadang cuma saya sendiri, orang-tua kami senantiasa repot di Jakarta serta cuma sekian hari dirumah dalam satu bulan, kakak-kakak kuliah diluar negeri, hingga rumah dengan 6 kamar besar, yang semestinya cukup menyimpan 20 orang, cuma ditempati saya sendiri. Pembantu, sopir, satpam, tinggal di pavilion spesial terpisah dengan rumah induk. Dalam kesunyian itu hati saya terasa sejuk setiap mendengar ayat Al Quran yang terkadang tak berniat saya dengarkan di TV.

Kembali ke pelajaran agama di kelas. Tak tahu kenapa saya semakin tertarik untuk memahami ajaran Islam setiap ada pelajaran agama di kelas. Lihat ibu guru yang kenakan kerudung, dengan muka bersih, bercahaya, hati saya merasa sejuk. Dengan lihat muka ibu guru itu saja saya terasa damai. Tanpa ada saya sadari terkadang saya mencatat apa yang ibu guru itu sampaikan, bahkan juga saya hapal diluar kepala ayat-ayat pendek. Seluruhnya itu berlangsung demikian saja, tidak ada saya sadari serta tanpa ada dapat dihindari oleh diri saya sendiri. Pernah ibu guru itu hampiri saya yang tidak berniat, dengan cara reflex mencatat pelajaran perihal haji yang dia catat di papan catat.

Beliau tahu saya nonmuslim serta hampiri tempat dudukku jantung juga berdebar keras memikirkan kemungkinan diusir dari kelas. Namun..... nyatanya beliau dengan senyum ramah lihat catatan yang saya catat, sembari berkata, " Insya Allah nantinya satu waktu Mawar berbarengan dengan ibu melakukan beribadah Haji ya... " Mulai sejak waktu itu hubunganku dengan Ibu guru (sebut saja ibu guru Aisyah) semakin akrab, saya nyaris tak sabar menanti datangnya hari pelajaran ibu Aisyah. Hubunganku dengan beliau seperti anak serta ibu. Namun waktu itu saya juga terus ikuti pelajaran agama yang waktu itu masih tetap saya anut, walaupun semakin banyak melamun, bahkan juga tak mencatat sekalipun.

Juga sebagai gadis remaja, tinggiku seputar 160 cm, pasti tengah mekar2nya serta giat2nya mencari pacar. Rekan2ku banyak menyampaikan bila badanku indah, seimbang, wajahnya oriental, bakalan banyak menarik perhatian laki2 padaku. Tak tahu mengapa waktu itu saya tak tertarik dengan laki2 datang dari etnis saya. Demikian sebaliknya sehari-hari Ju’mat lihat siswa2 pria lakukan beribadah shalat Ju’mat, hatiku segera bergetar, memikirkan misal salah seseorang dari mereka yaitu pacar saya, dengan muka bersih bercahaya serta masih tetap basah tetesan air wudhu, jalan ke masjid di seberang sekolah, ah... alangkah indahnya memikirkan wajah-wajah itu.

Namun waktu itu saya tahu diri, saya yang berasal etnis keturunan, adakah laki-laki pribumi yang ingin jadikan saya pacarnya. Saya tahu ada banyak dari mereka yang membedakan ras, serta berpacaran dengan ras kami masih tetap dikira memalukan, bahkan juga mungkin saja ejekan serta gunjingan di lingkungan keluarganya. Saya pernah berpacaran dengan anak bupati, namun lalu dia mengambil keputusan jalinan kami, karena ayahnya bakal mencalonkan diri jadi Gubernur, serta dia tidak ingin ada anggota keluarganya yang dapat menghalangi pencalonan tsb.

Umpamanya anaknya dengan berpacaran dengan ras lain (??). Walaupun argumen itu sangat sangatlah mengada2 namun saya terima dengan lega dada. Memanglah saya telah mengerti bakal ada penolakan, lantaran saya datang dari etnis non pribumi. Saya tahu orang tuanya pasti tidak merestui anaknya terkait terlampau jauh dengan orang yang tidak dari ras mereka, serta berbeda agama. Walaupun demikian hatiku telah bulat untuk nantinya mempunyai pasangan hidup seseorang pribumi. Serta saya bahkan juga bersedia memeluk islam juga sebagai agamaku.

Nantinya ketentuan hidupku ini bakal jadi perjalanan panjang serta penuh cobaan dalam hidupku. Selepas SMA saya meneruskan study ke Ausie (Australia) lantas ke negeri Paman Sam (Amerika) ikuti kakak2ku. Tidak banyak yang butuh saya katakan dengan saat studiku. Nyaris 5 th. lalu saya kembali dengan gelar master di tangan serta saya mengabdi untuk membesarkan usaha keluarga saya. Kurun waktu singkat perusahaan beroleh keuntungan bertambah cepat, selalu jadi membesar dan merambah ke banyak bidang usaha. Saya banyak mempunyai akses ke beberapa pejabat di daerahku lantaran semasa sekolahku dahulu saya telah mengetahui keluarga mereka. Seluruhnya masalah perijinan dapat saya kerjakan dengan gampang.

Saya tetap masih melajang di pertengahan umur 20an th.. Banyak pria berupaya menarik perhatianku, dari pengusaha2 muda berhasil bahkan juga hingga yang memiliki perusahaan2 besar. Namun hatiku tak bergetar sekalipun. Saya belum temukan seorang yang benar2 jadi soulmate ku. Sebatas mencari suami sangat gampang bagiku, seperti cuma menjentikkan jari jadi beberapa puluh pria bakal mendatangi saya. Namun saya benar2 mencari seseorang soulmate, belahan jiwa sejati untuk mengikuti saya.

Hingga satu saat perusahaan kami beroleh karyawan baru dari kantor cabang kami di pulau Jawa. Orangnya 3 th. lebih tua dari ku, berwajah bersih, dia datang dari etnis pribumi Jawa. Bicaranya lemah lembut, sopan, badannya tinggi, seimbang, serta ah... ini dia.. dia seseorang muslim yang shaleh. Mulai sejak kehadirannya dikantor kami, beberapa wanita tidak habis2nya mengulas dia, serta berlomba memperoleh dia. Menurut laporan kantor, dia sangat rajin, jujur serta berprestasi di kantor lama sampai di promosikan ke pekerjaan lebih tinggi serta menantang di kantor kami. Kebetulan pekerjaan yang bakal dia lakukan jadi satu divisi denganku. Saya bakal banyak terkait dengan dia.

Pada bulan2 pertama saya berlaku 'Jaim' jagalah image, lantaran saya anak dari yang memiliki perusahaan ini. Namun lama2, hatiku tidak dapat berbohong,.. hatiku sedikit untuk sedikit namun pasti, luluh juga... saya jatuh cinta. Pernah satu waktu setelah berkunjung ke kantor gubernur saya semobil dengannya. Di dalam jalan dia minta izin untuk berhenti sebentar di Masjid Raya di kotaku untuk shalat Ashar. Dari dalam mobil, saya cermati bagaimana dia berwudhu, lantas mengambil langkah masuk ke masjid serta lakukan beribadah.... ahhh!. Andaikata saja saya nantinya dapat ikuti di belakangnya.

Awalannya saya memanggil dia dengan sebutan resmi dikantor 'Pak' serta dia juga memanggilku 'Ibu' Namun lama kelamaan dengan cara tak berniat saya mulai memanggil dia 'mas', lantaran saya kerap lihat keluarga Jawa memanggil orang lebih tua, suami, kakak, dengan sebutan mas. Awalnya dia agak rikuh tiap-tiap saya panggil sekian, namun lama kelamaan mulai punya kebiasaan. Namun itu cuma saya kerjakan pabila cuma tengah berdua, tak di depan orang2 kantor. Akupun mulai meminta dia memanggilku 'Dik. ' Saya terasa risih setiap saat dia panggil saya 'Ibu Mawar'.

Bersamaan dengan saat, sesuai sama pepatah jawa, " witing tresno jalaran soko kulino ", cinta bakal tumbuh lantaran punya kebiasaan senantiasa berbarengan. Saudara2ku... Dapat dipikirkan bagaimana awal cerita cinta kami... didalam mobil yang disupiri sopirku, kami keduanya sama duduk di belakang. Awalannya kami cuma mengulas serta mengulas berkas2 pekerjaan, terkadang dengan cara tak berniat tangan kami sama-sama sentuhan. Serta dia dengan cara sopan selekasnya menarik, serta mohon maaf. ... Ahh! ... sebel terasa. Walau sebenarnya akulah yang menginginkannya.

Namun itu tak berjalan lama, selanjutnya dia takluk juga, terkadang saya biarlah tangan dia memegang berkas, lantas saya pura-pura membahasnya sembari tanganku menyentuh jari serta tangannya. Terkadang saya genggam jarinya, serta lama kelamaan dia berikan response... dia juga menggenggam tanganku... ahh! ... Terkadang bila mobil kami telah ingin tiba di tujuan, saya pura2 minta supirku untuk kembali ke tempat lain, saya pura2 ada yang tertinggal... walau sebenarnya cuma mau berlama2 dengan dia (sebut saja mas Fariz) di mobil.

Pernah satu waktu saya pura2 ada yang tertinggal serta menyuruh sopirku membawa kami ke rumah. Demikian mobil masuk halaman rumahku yang besar, berwajah terlihat pucat pasi. Dia terlihat ketakutan serta gugup. Dia katakan kelak bila papaku (dengan kata lain big boss dia) geram bila lihat dia jam kerja beginimampir kerumah dia. Saya katakan tidak butuh takut, tidakkah saya, anak big boss, yang membawanya ke sini.

Nyaris satu tahun telah dia bekerja berbarengan denganku, serta jalinan kami telah semakin erat, namun dia belum menyebutkan cintanya padaku. Mungkin saja takut saya bakal menampiknya, terlebih kepercayaan kami ketika itu masih tetap berbeda. Sampai satu waktu dia menelponku, serta mengajak bersua di restoran diluar kota, dia memintaku datang tanpa ada sopir. Dia tidak ingin ada orang kantor lihat kami berdua. Di restoran itu dia menyebutkan cintanya... segera waktu itu juga saya terima. Serta saya katakan pada dia, bila saya terasa mas Fariz yaitu soulmate ku. Saya bakal bersedia memeluk Islam ikuti agama yang dia anut.

Saya juga katakan bila memanglah saya telah mulai sejak lama tertarik dengan Islam, jadi mas Fariz semoga dapat jadi pembimbingku. Saya dapat lihat air mata dia meleleh dari ke-2 matanya. Seumur hidupku baru kesempatan ini saya lihat seseorang laki2 berlinangan air mata lantaran saya, tak merasa akupun tidak kuasa menahan airmata meleleh dipipiku. Saya meyakini saya telah memperoleh 'Soulmate' ku serta bakal saya pertahankan hingga kapanpun serta lewat cara apa pun.

Di kantor kami bekerja seperti umum, seperti tak ada jalinan apa pun. Diluar kantor kami benar2 sepasang kekasih yang tengah jatuh cinta, dia mulai mengajariku shalat, serta sedikit bacaan doa. Dia memanglah lelaki patuh, melindungi kesopanan, tak pernah melebihi batas. Terkadang saya yang menggoda, namun dia senantiasa katakan, sabar... tunggulah waktunya. Serapat apa pun kami tutupi jalinan kami, pada akhirnya sedikit untuk sedikit bocor juga di kantor kami. Hingga pada akhirnya terdengar di telinga papaku.

Satu hari tiba2 papaku datang ke ruangku walau sebenarnya ayah sangat sangatlah tidak sering datang ke ruangan kerjaku, bila ada kepentingan umumnya saya di panggil. Saya lantas di ajak bicara berdua dengan ayah. Mula2 ayah tak bertanya hubunganku dengan Fariz, namun sedikit untuk sedikit dia mulai mengarahkan perbincangan ke sana. Hingga pada akhirnya dia bertanya kebenaran hubunganku dengan Mas Fariz. Saya tak mampu menjawab, wajahku tertunduk. Ayah selalu menatapku, menanti jawabanku. Saya tak mampu berbohong, bila saya katakan tak, itu bertolak belakang dengan hati ku, demikian sebaliknya bila saya katakan iya, saya cemas pekerjaan Mas Fariz jadi taruhan.

Pada akhirnya saya cuma dapat menangis... Besok harinya, Mas Fariz tak ada di kantor, menurut orang2 kantor, dia dipindahkan kembali ke Jawa serta saya kehilangan kontak dengannya. Satu minggu lalu dia menelpon. Dia bercerita panjang lebar bahwa pada hari itu sesudah ayah menemuiku, nyatanya ayah segera menjumpai dia, serta esok paginya dia harusnya kembali ke kantor lama. Dia juga narasi bila situasi makin kronis, lantaran hampir setiap karyawan di kantornya telah mendengar berita hubungan denganku. Serta banyak yang menggunjingkan bila mas Fariz, mengincar harta serta kedudukan dengan memacari anak big bos.

Hingga berkali-kali menyebutkan nama Allah serta bersumpah bila dia mencintaiku bukanlah karenanya seluruhnya. Dua minggu lalu, dia mengundurkan diri dari perusahaan kami, namun kami terus sama-sama terkait lewat telephone. Dia berjanji berupaya mencari pekerjaan di perusahaan lain yang mempunyai cabang di kotaku, hingga dapat kembali menemuiku. Tuhan memanglah telah merencanakan. 3 bln. lalu mas Fariz telah memperoleh pekerjaan serta diletakkan di kotaku walaupun upahnya tambah lebih kecil. Dia katakan saat ini telah bebas terkait denganku.

Saya sangat terharu, dia korbankan kariernya lantaran saya. Saya berjanji apa pun yang berlangsung saya akan tidak tinggalkan dia. Saat ini kami bebas terkait tak peduli lagi dengan omongan orang2 kantor, lantaran dia toh tak akan bekerja di perusahaan kami ini. Namun nyatanya ayah kembali tahu ini, serta kesempatan ini terlebih ibu turut turun tangan. Saya diceramahi habis-habisan. Mereka sesungguhnya tidak membedakan ras serta tidak keberatan terkait dengan siapa saja, Mereka berprasangka buruk saya bakal geser agama. Serta itu kurang dapat mereka terima.

Saya menuturkan baik_baik bahwa saya telah dewasa dapat memutuskan hidup sendiri tanpa ada bergantung ayah ibu. Nyatanya jawaban itu bikin mereka murka serta tersinggung. Mereka katakan bahwa tanpa ada mereka jalan hidupku tak bakal jadi ini. Beberapa orang ikhlas mati untuk rasakan hidup sepertiku. Rumah elegan, sopir ada setiap waktu, mobil elegan ada di garasi, duit melimpah, dihormati kemana sajakah pergi dan lain-lain. Mereka juga katakan, tanpa ada mereka saya akan tidak pernah mampu beroleh kehidupan seperti ini.

Saya cuma menangis mendengar apa yang ibu papaku katakan. Namun hati saya telah bulat apa pun yang berlangsung saya akan tidak meninggalkan Mas Fariz. Cinta pertamaku serta paling akhir. Walaupun orang tuaku selalu menentang, cintaku ke mas Fariz tak pernah surut. Akupun semakin giat memperdalam Islam. Kerapkali waktu istirahat kantor, saya pergi ke toko buku besar di Mal. Saya membaca-baca buku perihal Islam. Pernah saya mengajak orang di kantor untuk turut saya ke toko buku itu. Serta dia tegur saya, lantaran dia pikir saya salah pilih sisi rack buku. Dia ingatkan saya bila saya dibagian rack buku2 Islam. Saya katakan memanglah benar, saya ingin membaca buku2 perihal Islam.

Makin hari hubunganku dengan ayah ibu semakin renggang. Walau sebenarnya saya telah bicara sebagus mungkin saja dengan mereka. Kakak2ku seluruhnya juga telah terprovokasi. Mereka menjauhiku. Ke-2 kakak laki2 ku menikah serta menetap di Jakarta menggerakkan perusaahan kami di sana, hingga ayah serta ibu saat ini semakin banyak menetap di kota kami. Dirumah, saya makin dikira bukanlah lagi sisi keluarga. Mereka tidak lagi mengajak makan berbarengan di meja makan.

Pembantu diminta memanggilku untuk makan pabila ayah ibu serta kakak perempuanku usai makan. Makanan yang ada di meja bekas mereka yang saya makan. Pembantu tak diijinkan menaikkan makanan. Pikirkan, saya mengonsumsi seadanya bekas mereka. Misal mereka makan ayam, jadi saya cuma kebagian ceker serta kepala saja. Dapat dipikirkan bagaimanakah sakit hatiku. Namun saya terus bersabar, serta mas Fariz senantiasa mengingatkan saya untuk terus berbakti pada orangtua. Walau sebenarnya bila ingin, mungkin saya pergi ke restoran paling mahal di kota ku ini.

Puncaknya berlangsung di satu malam. Kakakku sesungguhnya kasihan kepadaku, hingga terkadang dia menaruh beberapa makanan yang baru dimasak di dapur. Hingga ketika ibu ayah usai makan, dia diam2 menyajikan untukku. Satu saat dengan cara tak terduga, ayah ibu kembali ke meja makan serta memergoki kakakku membawa makanan yang dia taruh di dapur. Segera mamaku merebut piring yang dibawa kakakku serta melemparkannya ke lantai. Sembari menyindir bahwa kakakku tidak butuh kasihan padaku lantaran saya mampu hidup tanpa ada di beri makan dari ibu ayah serta dapat hidup mandiri tanpa ada mereka.

Ohh....! Mereka rupanya telah sangat membenciku. Hancur berkeping2 hatiku ketika itu. Saya cuma dapat menangis, namun saya tak menyesal, serta saya selalu bertahan dengan pilihan hidupku. Mas Fariz merekomendasikan untuk bicara baik-baik dengan ibu serta ayah, mudah2an mereka luluh serta tahu. Satu malam, saya memiliki kesempatan mendatangi serta bicara dengan mereka. Dengan baik2 serta sopan saya mohon maaf pada mereka. Saya terangkan apa yang hatiku rasakan, saya tumpahkan seluruhnya.

Namun malah itu bikin mereka jadi tambah murka. Mereka menuduhku sudah diguna2 serta menyarankanku agar sadar. Oh Ya Allah...! Saya sehat wal afiat, Insya Allah waktu itu tak ada satu juga guna2 pada diriku. Seluruhnya hasrat murni dari hatiku, panggilan jiwaku, yg tidak dapat lagi saya hindari. Saya terangkan pada ibu ayah bahwa saya telah cukup usia serta bukanlah lagi gadis remaja hingga apa pun keputusanku, saya dapat pertanggungjawabkan. Saya dapat mandiri misal keputusanku memanglah menginginkan sekian. Ayah ibu terus pada pendirian mereka. Bahkan juga mereka menantangku, bila mampu hidup mandiri, saat ini juga serahkan semua harta yang saya mempunyai sampai kini, yang saya peroleh sepanjang hidup dengan mereka.

Lantaran tekatku telah bulat. Malam itu juga semua kartu kredit, ATM, buku2 bank saya serahkan pada mereka. Duit yang saya mempunyai benar2 cuma tinggal yang ada di dompet. Kelihatannya tinggal menanti saat saja untuk meninggalkan rumah ini. Besok paginya lantaran ada kepentingan saya mau buka almari besi area untuk menyimpan surat2 bernilai dirumah kami. Namun berkali-kali coba, saya tak dapat membukanya.

Nyatanya nomer kombinasinya telah dirubah. Walau sebenarnya didalamnya ada barang2 utama pribadiku : Ijasah, perhiasan dan lain-lain. Saya menelpon ayah menanyakannya, serta saya memperoleh jawaban yang menyedihkan hatiku. Ayah menyindir bila mampu hidup mandiri, mengapa masih tetap ingin buka almari besi punya keluarga, pasti ada barang yang ingin di jual. Saya benar2 dikucilkan. Mereka menyiksa saya dengan langkahnya sampai mereka pikir saya bakal menyerah serta ikuti mereka. Saya mengadu ke mas Fariz serta menyampaikan bakal meninggalkan rumah. Dia tak dapat berkata apa-apa. Cuma mengingatkan saya jangan sempat mengambil keputusan jalinan dengan orangtua.

Saudara2 ku...

Sekian hari sesudah peristiwa itu, saya meninggalkan rumah. Saya kost didekat kantorku. Saya berpamitan baik2 pada ibu serta ayah. Namun mereka melihat juga tak. Saya masih tetap mempunyai cukup duit di dompet. Saya bersumpah tidak bakal meminta duit lagi sepeserpun dari mereka. Saya berkemauan menunjukkan kata2 ku untuk hidup mandiri tanpa ada harta siapa saja untuk menjaga keyakinanku. Sepanjang saya bekerja di perusahaan ayah, memanglah dengan cara resmi saya di upah sesuai sama posisi kerjaku di perusahaan.

Namun selain itu setiap bln., pasti di luar resmi perusahaan, saya memperoleh duit saku dari ayah nyaris 20x lipat dari upah resmiku. Hingga pendapatan satu bulan dapat cukup untuk hidup elegan satu tahun. Bahkan juga semua duit simpananku di bank, meraih 10 digit. Bahkan juga mungkin saja cukup untuk cost hidup seumur hidupku tanpa ada bekerja. Saya mengharapkan perusahaan ayah masih tetap berikan upah serta itu memanglah duit hasil kerjaku. Namun di akhir bln. saya tak beroleh sepeserpun.

Saat saya tanyakan ke sisi pembayaran upah, nyatanya mereka telah diperintahkan untuk menahan gajiku. Ya Allah, mereka benar2 lakukan langkah apa pun supaya saya benar2 menanggung derita serta menyerah. Waktu itu juga saya segera mengundurkan diri dari perusahaan ayah. Saya tinggalkan perusahaan itu selama2nya. Waktu saya adukan hal semacam ini ke mas Fariz dia sangat sangatlah sedih serta mohon maaf padaku, lantaran gara2 dia hidupku menanggung derita. Dia ikhlas misal saya tak kuat serta mengubah ketentuan. Saya peluk dia serta saya yakinkan keputusanku akan tidak beralih, serta saya makin mau dapat hidup berbarengan dia. Waktu itu cuma dialah sandaran hidupku.

Dengan berlinang air mata, dia sekali lagi bertanya padaku, apakah saya menyesal dengan keputusanku, apakah saya ikhlas jadi muslimah serta jadi istrinya. Waktu itu juga saya cium tangannya serta saya katakan, saya korbankan semua kehidupanku cuma untuk dapat hidup bersamanya serta akan tidak mudur maupun menyesalinya, apa pun yang berlangsung saya bakal hadapi dengan ikhlas lahir serta batin.

Singkat narasi, dengan diantar mas Fariz saya mengatakan 2 kalimah syahadat di suatu masjid di kota kami, disaksikan imam serta sebagian jemaah masjid itu. Pada akhirnya penantian panjangku terwujud telah, walaupun mesti mengorbankan kehidupanku. Namun saya tidak pernah menyesali. Dia mengajakku selekasnya menikah di kota kelahirannya, lantaran kebetulan perusahaan tempat dia bekerja bakal memindahkan dia ke pulau Jawa. Saat sebelum menikah, kami berdua mendatangi rumah ayah serta ibu, kami bakal mohon restu baik2 pada mereka.

Namun satpam yang berjaga dipintu gerbang menyampaikan bila dia diperintahkan tak buka pintu apabila kami berdua datang. Sesungguhnya ayah satpam itu bersedia buka pintu lantaran dia masih tetap mengenalku. Namun saya melarangnya, lantaran cemas bakal mencemoohkakan pekerjaan dia. Biarlah cukup saya saja yang menanggung derita, saya tidak mau orang lain turut terserang mengakibatkan. Saya tinggalkan secarik surat yang berisi memohon doa restu dari ibu ayah bahwa saya bakal menikah dengan mas Fariz, juga saya katakan bila saya telah jadi muslimah.

 Saya dapat lihat mata ayah satpam itu berkaca2 pada saat saya katakan saya telah jadi mualaf. Keluarga mas Fariz bertanya ketidakhadiran keluargaku di pernikahan kami. Namun sesudah mas Fariz menceritakan panjang lebar, mereka ingin mengerti. Kami menikah dengan cara simpel. Keluarganya sangat sangatlah menerimaku dengan hangat serta tidak mempersoalkan ras keturunanku Ibu mertuaku sangat sayang kepadaku. Sesudah menikah, saya serta mas Fariz menetap di Jawa. Saya sangat sangatlah bahagia, dapat jadi pendamping hidupnya. Saya rasakan dia bukan hanya suami, namun memanglah benar2 soulmate hidupku yang saya cari2 selama hidupku.

Saya hidup dirumah simpel, hari2 kulalui dengan penuh kebahagiaan serta saya tidak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikanlah untukku. Saya tak akan bekerja, lantaran saya benar2 mau mengabdi pada suamiku. Selain itu seluruhnya ijasahku masih tetap tersimpan di almari besi, saya tak dapat melamar pekerjaan dimana saja. Saya mau tunjukkan dapat hidup mandiri dengan suamiku. Mas Fariz sangat sangatlah menyayangiku, tiap-tiap pagi saat sebelum pergi ke kantor dia memelukku. Setiap hari saya bawakan 'lunch box' untuk makan siang lantaran saya tidak ingin dia konsumsi makanan dari masakan orang lain.

Saya benar2 posesif, mau mempunyai serta melayani dia dengan cara keseluruhan. Sehari-hari saya bangun saat sebelum dia bangun, serta saya baru tidur sesudah dia benar2 tidur, untuk meyakinkan dia telah benar2 tak perlu saya layani lagi. Saya siapkan celana, pakaian, kaus kaki dia setiap pagi saat sebelum pergi kerja. Hingga dia tidak butuh lagi pikirkan baju apa yang perlu dia gunakan setiap pagi. Bahkan juga saya potongkan kukunya apabila telah panjang Pokoknya dia benar2 saya buat jadi pangeran untuk diriku.

Setiap malam saat sebelum tidur, kami senantiasa mengobrol serta sama-sama mengajarkan bhs. Dia mengajariku bhs jawa, sedang saya mengajari dia bhs mandarin. Dia sangat cepat belajar mandarin kurun waktu singkat dia telah kuasai kata2 yang umum disampaikan, terkadang mengajakku bicara mandarin dirumah. Memanglah perusahaan tempat dia bekerja punya keluarga etnis china seperti saya serta banyak terkait dengan warga keturunan china, hingga apabila dapat berbahasa bakal berikan keuntungan penambahan.

Satu saat dia pulang membawa sepeda motor, dia katakan bila kantornya memberikannya utang angsuran motor. Memanglah cuma sepeda motor, namun saya sangatlah bahagia sekali dengan yang dia peroleh. Berkali-kali dia mohon maaf tak dapat belikan saya mobil elegan seperti yang pernah saya punyai dahulu. Saya katakan motor yang saat ini kita punyai bagiku tambah lebih elegan dari mobil yang dahulu saya punyai. Lantaran motor ini bukan hanya dibeli dengan duit, namun dengan juga cinta, yang akan tidak ternilai berapapun banyak duit.

Kehidupan perkawinan kami sangat indah, bila dirumah hampir kami tidak dapat berjauhan. Lantaran setiap hari untuk kami yaitu bln. madu, jadi cuma satu tahun lalu lahirlah anak pertama (serta satu2nya) kami. Bayi laki2 itu kami namai, sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yang membacakan Azan serta iqomat sebentar sesudah bayi kami lahir. Saya terasa lengkaplah kebahagiaanku. Setiap hari saya lebih bahagia dapat rasakan ada 2 orang " Fariz " didalam rumahku. Waktu mas Fariz ke kantor, saya di rekani Fariz kecil, bayiku. Oh alangkah bahagianya. Saya menyukai 2 orang yang sama darah dagingnya.

Tiga th. telah anak kami ada berbarengan kami. Mas Fariz selalu bercita2 mau mendatangi orangtuaku, oma opa si Faisal. Dia benar2 mau mengenalkan cucu mereka serta menjadikan satu saya dengan ayah mamaku lagi. Dia mengharapkan dengan hadirnya Faisal, bakal meluluhkan hati orang tuaku. Namun setiap kali saya menelpon, ayah mamaku masih tetap berlaku seperti dahulu. Bahkan juga saat saya katakan bahwa mereka telah memiliki cucu dariku, mereka hanyamenjawab, bila mereka tak terasa memiliki keturunan dariku... Ohh! malangnya anakku. Saya sangat sedih, teganya ayah serta mamaku berkata seperti itu. Saya masih tetap menyadari jika mereka membenciku, namun janganlah pada anakku, cucu mereka, darah daging mereka sendiri.

Mas Fariz cuma menyuruhku bersabar, dia yakin nantinya ayah serta ibu bakal terima mereka. Namun saat sebelum harapan mas Fariz tercukupi, musibah mulai datang.... Satu saat, mas Fariz pulang ke rumah lebih awal, dia hanya terasa tidak enak tubuh seperti masuk angin. Saya menyuruhnya selekasnya istirahat serta tidur serta berikan obat pembasmi sakit. Malam harinya, badannya mulai panas serta menggigil. Esok paginya saya mengantar dia ke dokter, saat itu dokter cuma katakan bila mas Fariz cuma demam umum hingga cuma di beri obat penurun panas serta diminta istirahat. Namun malamnya badannya terus panas, serta menggigil bahkan juga mengigau.

Saya ajak mas Fariz untuk ke rumah sakit. Namun dia menampik, lantaran dia katakan cuma demam umum, serta tidak ap-apa, sekian hari pasti pulih. Hingga hari keempat kondisinya semakin kronis serta tak sadarkan diri, bahkan juga dari hidung keluar darah. Dengan pertolongan beberapa tetangga, suamiku selekasnya dibawa ke RS. Hasil kontrol darah tunjukkan trombosit tinggal 26. 000. Walau sebenarnya wajarnya mesti di atas 150rb. Suamiku terserang demam berdarah, Dokter menyalahkan saya mengapa tak selekasnya dibawa ke RS lebih awal, lantaran serangan terberat demam berdarah yaitu pada hari 5. Bila keadaan badan tak kuat, dapat sangat beresiko.

Besoknya, hari ke 5, memanglah benar2 semakin kronis keadaan suamiku, napas semakin berat, trombositnya belum beranjak naik, badannya telah benar2 digerogoti penyakit itu, malam itu 1/2 mengigau, dia memanggil namaku, saya genggam tangannya serta saya dekati telingaku ke mulutnya, saya dapat dengarkan dia coba mengatakan suatu hal, serta air matanya meleleh. Dia cobalah katakan kata2 " Maafkan saya " lantas saya tenangkan dia, bila tak ada yang butuh dimaafkan. Saya ikhlas lahir bathin mendampinginya. Sesudah mendengar kata2ku dia terlihat tenang, lantas dengan 1 tarikan napas dia coba mengatakan " Lailahailallah " lantas pergi selama2nya meninggalkan saya. Dia pergi di pelukan saya.

Saya ingat satu waktu dia pernah berucap, misal Tuhan mengijinkan, dia mau wafat terlebih dulu dari saya serta dalam pelukanku, karena ia mau saya jadi orang paling akhir dalam kehidupannya yang dia saksikan. Saya pernah memarahi dia, janganlah katakan seperti itu. Namun dia katakan serius, bila dia akan tidak mampu bila saya yang meninggalkan dia terlebih dulu. Nyatanya Tuhan benar2 mengabulkan permintaannya. Orang yang saya buat jadi sandaran satu2nya dalam kehidupan ini sudah pergi selama2nya. Tak terkirakan sangat sedih serta hancurnya hatiku. Misal saya tak ingat dengan si kecil Faisal, mungkin saja saya telah mau selekasnya menyusul mas Fariz di alam sana.

Mas Fariz benar2 orang yang jujur serta baik, saat penguburan semua rekan2 kerja, bahkan juga big boss tempat bekerja ada. Saat saya tanyakan adakah hutang piutang mas Fariz yang perlu saya kerjakan. Mereka katakan tak ada sekalipun, bahkan juga kantornya memberi santunan 4x upah, ditambah duit duka dari rekan2nya. Saya juga di tawarkan bekerja di perusahaan itu. Namun untuk waktu itu saya benar2 tak mampu lakukan apa pun. Saya terasa 1/2 dari nyawaku telah hilang. Sepanjang 3 bln. berduka, saya tak mampu pergi serta lakukan apapun. Bahkan juga setiap tidur saya masih tetap memikirkan mas Fariz disampingku.

Pada akhirnya untuk sesaat saat saya tinggal dengan ibu mertuaku, agar Faisal ada yang mengasuh. Rumah serta motor saya jual, lantaran saya tidak mampu memikirkan masa lalu berbarengan mas Fariz tiap-tiap saya melihatnya. Nyaris 1/2 th. tinggal dengan mertuaku, hingga pada akhirnya saya putuskan kembali ke kota asalku. Sesungguhnya ibu mertuaku sangat baik serta sayang padaku. Namun saya tahu diri tidak mungkin saja selama-lamanya tergantung pada siapa saja. Saya mesti dapat mandiri membesarkan anakku, satu2nya hartaku yang tersisa. Saya pulang ke kota asalku dengan bekas duit yang saya mempunyai. Lantas saya mengontrak rumah, serta buka toko kecil2an di depannya. Namun mungkin saja lantaran masih tetap selalu berduka serta terbayang suamiku, hingga saya terkadang kurang pikirkan usahaku ini, hingga pada akhirnya usahaku ini bangkrut. Tokoku saya tutup, uangku habis untuk membayar tagihan2 beberapa suplier barang, sesaat penjualanku tidak seberapa untungkan.

Saya sesungguhnya tidak pernah putus harapan apa pun saya lakoni asal halal. Pernah saya cobalah jadi pelayan restoran, namun cuma sebagian bln., lantaran anakku tak ada yang jagalah. Hingga pada akhirnya saya benar2 kehabisan duit, tak mampu lagi membayar kontrakan. Dengan membawa koper isi baju saya menggendong anakku, jalan tanpa ada maksud. Saya benar2 bingung bakal kemana. Pernah terlintas dipikiranku untuk kembali ke keluargaku. Namun malah dengan keadaan seperti ini mereka juga bakal terasa menang. Mereka bakal tertawa terbahak2 serta selalu dapat menghinaku seumur hidupku, bahwa saya tidak berhasil dalam pilih jalan hidup.


Pada akhirnya ditengah rasa putus harapan, saya teringat masjid tempat dahulu saya pertama kali mengatakan kalimat syahadat. Masjid itu memanglah bukan masjid raya di kota kami, namun lantaran masjid yang tua serta bersejarah, jadi banyak jemaah yang datang. Saya memikirkan, dahulu saya mengawali jalan hidupku dari masjid itu, hingga jikalau jalan hidupku selesai saya mau di masjid itu juga. Saya datangi masjid itu Serta saya shalat mohon panduan. Anakku lantaran kelelahan tertidur di sampingku.

Saya tak mempunyai duit untuk beli makanan. Pada akhirnya saya cuma dapat menangis. Rupanya tangisku didengar seseorang ayah, serta beliau rupanya imam masjid itu serta dia juga yang dahulu menuntunku membaca syahadat. Saya tak lupa dengan berwajah namun dia pasti telah tak ingat, lantaran wajahku tidak sesegar dahulu lagi. Pada saat saya perkenalkan diriku serta saya katakan bahwa saya dahulu mualaf yang beliau bimbing, dia segera ingat namun juga kaget dengan kondisiku yang seperti ini.

Pada akhirnya saya katakan seluruhnya pada beliau, karena saya terasa tak ada lagi orang didunia ini yang saya buat jadi sandaran hidupku. Sesudah usai mendengar ceritaku, dia menyuruh saya supaya janganlah pergi kemana2, serta terus tinggal di masjid, beliau juga menyuruh salah seseorang jemaah untuk membelikan makanan buat aku serta anakku. Sebentar lalu dia pergi meninggalkan saya, sembari berpesan bakal selekasnya kembali menemuiku (rupanya dia pergi mencari tempat buat aku tinggali). Tak lama beliau kembali menemuiku, sembari tersenyum dia katakan, mulai malam ini saya telah beroleh rumah.

Saya di ajak ke belakang masjid, disitu ada suatu bangunan penambahan yang terbagi dalam sebagian ruang. Umumnya ruang itu untuk gudang menaruh peralatan masjid, seperti tikar, kursi2 dan lain-lain. Salah satu ruangannya terlihat telah kosong, serta dia menunjuk bahwa tersebut rumahku. Saya bisa menempatinya sepanjang mungkin saja saya ingin. Ruangan di sampingnya dihuni oleh pak tua penjaga masjid, hingga saya ada yang temani. Ruang itu cuma memiliki ukuran lebih kurang 2x2m. Pak Imam masjid itu juga memberikan, bila kelak saya diberikan honor sekedarnya, bila saya ingin membantu2 bersihkan masjid, hingga cukup untuk makan.

Bahkan juga beliau memberikan bila saya dapat datang kerumahnya sekedar2 membantu2 istrinya memasak, lantaran memanglah rumah beliau cuma sebagian ratus mtr. dari masjid. Alhamdulillah, saya sangat bersukur nyatanya Allah mendengar doaku. Saya ingat, bahwa Allah tidak bakal menguji hambanya dengan melebihi beban yang mampu dia pikul. Saya telah bersukur dapat beroleh tempat berteduh, Walaupun cuma kamarnya kecil (tambah lebih kecil di banding kamar mandiku waktu dirumah orangtuaku). Ada lagi yang membuatku terasa tenang, lantaran saya tinggal berdekatan dengan rumah Allah, tiap-tiap saya terasa sedih, saya tinggal masuk ke masjid, serta menyampaikan segera pada Allah.

Lantaran tinggal dekat dengan masjid, automatis shalatku tak pernah terlewati sekalipun. Alhamdulillah, hidupku sedikit untuk sedikit mulai tenang. Saya kerap menolong istri pak Imam memasak di tempat tinggalnya. Imbalannya, beliau senantiasa membekali makanan buat aku bawa pulang. Hingga saya tak perlu kuatir pikirkan makanan sehari2. Bila pak Imam sekeluarga ada kepentingan keluar kota, akulahyang dititipi untuk melindungi tempat tinggalnya, serta saya dapat tinggal di tempat tinggalnya.

Sesungguhnya mereka tawarkan untuk tinggal berbarengan mereka. Namun saya tahu diri tidak ingin terus-terusan merepotkan orang lain. Pekerjaanku teratur sehari-hari yaitu bersihkan halaman masjid, bersihkan kaca jendela, Sedang pak tua mengepel lantai masjid. Setiap minggu saya memperoleh honor sekedarnya dari hasil kotak amal di masjid, namun terkadang saya tak memperoleh sepeser juga, lantaran terkadang telah habis untuk kepentingan masjid, namun saya kerjakan itu dengan suka hati serta ikhlas. Sesaat ini saya benar2 mau mengabdi pada Masjid ini, juga sebagai sinyal terimakasihku. Saya tidak ingin bersusah payah ke sana kemari mencari pekerjaan, Saya yakin nantinya masjid ini juga yang bakal memberiku jalan beroleh pekerjaan.

Terkadang saat malam hari saya duduk2 diteras masjid, mengobrol dengan pak tua. Dia bercerita bila anak2nya masih tetap ada di kampung, namun dia juga tidak ingin merepotkan anak2nya. Sepanjang masih tetap kuat, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Lantas waktu giliran saya bercerita, terkadang saya bingung mesti narasi apa..??? Apa saya menceritakan bila dahulu saya pernah naik kapal pesiar keliling EROPA, atau pernah bermalam di hotel elegan di LAS VEGAS - Amerika, atau waktu kuliah saya mempunyai apartment elegan di Australia. ... Ahh! pasti dia bakal tertawa serta berasumsi saya berkhayal, karena jangankan tinggal di hotel, duit yang saya mempunyai tak semakin banyak dari Rp 20. 000, -

Dahulu setiap minggu saya dapat beli peralatan make-up, eye shadow, lipstick bernilai jutaan rupiah. Saat ini make-up saya hanya air wudhu tiap-tiap saya shalat. Namun malah banyak yang menyampaikan bila wajahku terus bersih, cantik serta alami. Terkadang orang memikirkan saya masih tetap menggunakan make-up. Yah...! mungkin saja Allah yang memakaikan make-up buat aku. Kecantikan datang dari dalam, “Inner Beauty. ” Banyak yang katakan dengan mata sipitku di balik kerudung, saya tampak cantik. Tidak merasa telah nyaris 2 th. saya menetap di masjid itu, anakku telah sekolah di SD dekat masjid punya yayasan serta tanpa ada membayar sepeser juga.

Saya cuma membelikan seragam serta alat2 sekolah. Bahagianya hatiku lihat anakku telah masuk sekolah... ohh! kalau mas Fariz masih tetap ada serta lihat anak kita pada hari pertama pergi ke sekolah. Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan, hingga dia sangatlah tahu diri. Dia tidak pernah sekalipun merengek2 minta dibelikan ini itu seperti seperti anak lain. Pernah hatiku sangat pilu. Saat dia pulang sekolah dengan kaki telanjang, sembari menenteng2 sepatunya. Sembari tertawa, tanpa ada mengeluh, dia malah tunjukkan sepatunya kepadaku.

" Ma, sepatu Faisal telah minta makan ". Tujuannya sepatunya telah robek depannya, seperti mulut minta makan. Lihat dia tertawa, akupun ikut-ikutan tertawa, walaupun hatiku terasa mau menangis. Misal dia paham, dahulu mamanya senantiasa menggunakan sepatu bernilai jutaan rupiah, saat ini membelikan sepatu anaku yang murah juga saya belum mampu. Alhasil sepanjang 2 hari anakku ke sekolah menggunakan sepatu yang robek itu, hingga pada akhirnya saya belikan sepatu sisa. yang lebih layak digunakan.

Saya bersukur memiliki anak yang sangat tahu diri. Tidak ingin membebani ibunya. Memanglah anak saleh yang bakal jadi bekal sangat bernilai buat orang-tua. Pak Imam masjid terkadang menengok kami serta bertanya situasi kami. Dia kerap narasi, bagaimanakah istri nabi Muhammad SAW hidup tambah lebih menanggung derita, namun terus tabah serta tak goyah imannya. Beliau terkadang katakan, bila saya juga bakal jadi pakar surga. Berkali-kali dia katakan, bila orang lain akan tidak mampu hadapi cobaan ini, namun saya terus bertahan memegang kepercayaan, meninggalkan kesenangan dunia yang malah pernah saya dapatkan.

Satu siang, saya lihat ada mobil datang ke halaman masjid. Dari dalam mobil itu keluar 2 orang yang saya masih tetap kenal. Yang satu bernama tante Grace, yang satunya oom Albert. Mereka lawyer untuk perusahaan serta keluarga kami. Tak tahu bagaimanakah mereka dapat tahu saya ada di sini. Mereka membawa sebundel amplop, serta mengajak saya bicara. Saya dapat saksikan mata tante Grace yang memerah menahan air mata pada saat lihat tempat saya tinggal. Bahkan juga oom Albert suaranya bergetar, lehernya tersekat menahan sedih. Mereka katakan diutus oleh orangtua kami. Lantaran orangtua kami sudah mengetahui bagaimanakah situasi ku saat ini. Mereka katakan di dalam amplop yg mereka pegang berisi surat2 bank, ATM, Ijasahku, yang dapat saya punyai lagi. Bahkan juga saya dijemput untuk pulang ke rumah ibu papaku.

Sesaat saya berbahagia, saya pikir orang tuaku telah terbuka hatinya, saya dapat gunakan duit yang cukup banyak itu untuk hidup yang tambah baik. Namun dengan nada terpatah2 oom Albert meneruskan, bahwa ibu serta ayah berikan prasyarat. Saat saya tanyakan apa prasyaratnya. Mereka berdua hampir tak mampu meneruskan perbincangan. Tante Grace semakin menunduk menahan tangis. Pada akhirnya oom Albert menyampaikan bila prasyaratnya saya serta anakku mesti kembali ke kepercayaan yang dahulu saya anut. Waktu itu juga saya segera menjawab, bila saya tidak bakal ingin terima amplop itu, serta saya katakan supaya dikembalikan ke orang tuaku. Mereka sangat sangatlah mohon maaf padaku, lantaran mereka ketahui saya tersinggung.

 Namun saya juga sadar mereka cuma menggerakkan pekerjaan. Bahkan juga tante Grace memberikan, misal ikuti hati nurani pasti mereka telah serahkan itu amplop padaku tanpa ada prasyarat apa pun, namun mereka terikat profesi mereka. Mereka pamit meninggalkan saya. Namun sekian waktu lalu mereka kembali lagi, saya pikir mereka bakal membujukku. Namun rupanya mereka berinisiatif memfoto copy ijasah2 saya serta menyerahkan copy-nya ke saya. Mereka kerjakan atas gagasan mereka sendiri dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan. Mereka katakan cuma itu yang dapat mereka bantu untukku. Oh terima kasih Tuhan... Sedikit2 Tuhan memberi jalan untukku.

Pada akhirnya saya memiliki bukti bila dulu saya pernah sekolah tinggi hingga diluar negeri untuk mencapai gelar Master di bagian Keuangan. Rupanya Allah SWT telah cukup mengujiku, serta kelihatannya saya mulai diberikan rewards atas ketabahanku sampai kini. Tuhan mulai memberi jalan yang jelas untuk ku. Satu pagi di halaman masjid terlihat 2 orang wanita tengah mencermati bangunan masjid. Satunya seseorang bule tak tahu dari negeri mana, sedang satunya lagi wanita lokal. Kebetulan pak tua tengah di halaman Masjid, hingga mereka menghampirinya.

Masjid kami ini memanglah unik, lantaran adalah bangunan tua, dengan arsitektur Melayu kuno, hingga terkadang kerap dikunjungi orang, serta umumnya pak tua lah sebagai juru bicara, lantaran memanglah dia paling tahu histori masjid itu. Saya juga banyak memperoleh narasi dari pak tua perihal masjid ini hingga saya tahu banyak juga perihal histori masjid kami. Saya cuma memerhatikan dari jauh, 2 orang pengunjung itu bercakap dengan pak tua, hingga pada akhirnya saya lihat si bule agak kebingungan. Didorong rasa mau tahu, saya juga hampiri mereka. Dengan sopan saya mengenalkan diri serta tawarkan diri untuk menolong.

Nyatanya si bule itu yaitu mahasiswi Arsitektur dari Australia yang tengah lakukan study, sedang pendampingnya yaitu mahasiswi Arsitektur dari kampus T di kotaku yang bertugas juga sebagai penterjemah, panggil saja 'Retno'. Rupanya mahasiswi lokal itu kurang lancar bhs Inggrisnya hingga bikin si bule kebingungan mendengar terjemahan narasi dari pak tua. Dengan sopan saya kemukakan diri untuk menolong si bule itu.

Dengan bhs inggris yang sangatlah lancar saya katakan dari pertama hingga akhir seluruhnya perihal masjid itu. Saya ajak juga berkeliling ke setiap pojok masjid. Si bule jadi tambah takjub saat saya katakan pernah study di negerinya. Retno selalu memandangiku 1/2 tak yakin perihal diriku. Sesudah senang memperoleh info, saat sebelum pulang Retno berjanji bakal menemuiku kembali selekasnya, ada yang mau dia tanyakan semakin banyak perihal diriku tuturnya. Saya dengan suka hati bakal terima kehadirannya setiap saat.

Sekian hari lalu Retno memang sungguh-sungguh kembali datang menemuiku, kesempatan ini dia sekalipun tak mengulas tentang arsitektur masjid. Namun perihal diriku. Dia sangat mau tahu perihal diriku, pada akhirnya saya katakan dari pertama hingga sekarang ini perihal perjalanan hidupku. Dia sangat bersimpati serta berkemauan menolongku. Walaupun saya tak menginginkan pertolongan orang lain, namun saya menghormati tujuannya menolong. Dia katakan dengan pendidikanku serta kemahiranku berbahasa asing, pasti saya bakal peroleh pekerjaan, terlebih saya saat ini telah memiliki bukti foto copy ijasahku. Satu minggu lalu dia kembali datang kepadaku, serta menyuruhku bikin surat lamaran, bahkan juga dia sendiri yang membawa kertas serta amplopnya.

Dia katakan Rektorat Kampus membutuhkan sebagian tenaga honorer. Saya terharu ada orang lain yang perduli ingin membantuku tanpa ada pamrih, saya katakan banyak terimakasih padanya. Bagiku dia seperti diutus Tuhan untuk menolongku. Selang beberapa saat saya memperoleh berita gambira, saya di panggil menghadap ke Rektorat universitas-nya untuk test serta wawancara. Saat sebelum pergi saya shalat memohon pada Allah supaya diberikan kelancaran. Anakku saya titipkan pada Pak Tua yang memanglah telah saya anggap juga sebagai orang tuaku sendiri.

Alhamdulillah seluruhnya test kulalui dengan lancar bahkan juga waktu wawancara bhs Inggris, malah saya yang lebih kuasai bhs Inggris di banding yang mewawancaraiku. Dia hingga menyerah serta menyampaikan bhs Inggrisku telah perfect melebihi kekuatan dia. Tak hingga satu minggu, Retno mendatangiku lagi, kesempatan ini dia terlihat senang sekali, dia katakan dalam sekian hari saya bakal memperoleh surat dari Rektorat yang berisi penerimaan saya juga sebagai karyawan. Dia dapat lebih dahulu tahu lantaran ada rekannya yang bekerja di sana. Segera saja saya menuju masjid serta bersujud sukur lama sekali. Saya terasa sudah lulus semua test yang diujikan Allah terhadapku. Memanglah kadang-kadang saya kerap ajukan pertanyaan pada Allah, apakah lantaran saya mualaf hingga Allah kurang yakin dengan keimananku, hingga butuh mengujinya dengan ujian yang sangat berat.

Walaupun juga sebagai karyawan honorer namun saya telah bersukur, yang utama saya telah beroleh pendapatan yang layak. Pekerjaanku menolong Sisi Keuangan di Rektorat, memanglah sesuai sama ilmuku, namun mulai beberapa orang yang tahu bila saya lulusan dari luar negeri. Tiap-tiap ada seminar serta membutuhkan makalah dalam bhs Inggris pasti saya yang didapatkan pekerjaan penambahan untuk membuatnya.

Akupun banyak menolong menterjemahkan litelatur2 asing untuk dipakai beberapa mahasiswa. Hampir mulai sejak 3 th. paling akhir, saya tak pernah beli pakaian baru. Dengan gajiku saat ini saya telah dapat beli lagi. Saya sangat sangatlah suka bukanlah main, dapat membelikan baju yang bagus2 untuk anakku. Bahagia terasa lihat anakku dapat saya berikanlah pakain yang layak. Baju sekolahnya telah menguning, saat ini telah saya belikan yang baru, putih bersih, serta sepatu baru. Sepatunya yang dahulu robek, masih tetap saya taruh juga sebagai masa lalu. Sebagian bln. lalu saya telah dapat mengontrak rumah sendiri. Saat sebelum saya meninggalkan Masjid itu tak lupa saya berpamitan ke rumah pak Imam, saya katakan banyak terimakasih atas pertolongannya, beliau menyampaikan yang membantu bukanlah dia namun Allah SWT yang menolongku.

Saya memeluk dia lama sekali, serta saya katakan dulu saya mengatakan syahadat di depan dia, serta saya akan tidak pernah memungkirinya seumur hidupku, apa pun yang berlangsung. Saat sebelum pergi, saya pernah memandangi kamarku untuk paling akhir kali, pernah sebagian menit saya tertegun, memikirkan, mungkin saja nantinya ruang ini bakal digunakan oleh orang2 yang senasib seperti saya..... Saya mengharapkan Semoga Allah berikan kemampuan.... Sesudah saya melalui semua cobaan, Allah nampaknya terus-terusan berikan sejenis rewards kepadaku, belum genap satu tahun saya bekerja, pihak Rektorat berikan berita bila statusku bakal di tingkatkan jadi karyawan terus.

Bahkan juga sebagian dosen senior menawariku untuk menolong mengajar. Memanglah rekan2 kerjaku menyampaikan bila karierku sangat bagus karena orang dengan kekuatan sepertiku sangat dibutuhkanMereka katakan, kesuksesanku cuma menanti saat saja. Saya cuma dapat mengucap puji sukur Alhamdulillah. Misal dahulu saya kerap berdoa dengan linangan air mata rasa sedih, saat ini juga saya masih tetap kerap menangis saat berdoa, namun kesempatan ini saya menangis bahagia.

Hingga sekarang ini saya masih tetap sendirian, saya berkemauan membesarkan anakku sebaik2nya. Bagiku saya masih tetap terasa istri mas Fariz. Masih tetap susah terasa menukar dia dihatiku. Seperti yang saya pernah katakan, dia tidak cuma suami, namun soulmate ku, serta tak tergantikan. Namun tak tahu bila Allah memiliki gagasan lain untukku. Setiap melihat anakku, saya seperti lihat mas Fariz. Seperti dia masih tetap mendampingiku. Alhamdulilah dengan penghasilanku saat ini saya saat ini bahkan juga telah dapat beli sepeda motor untuk kepentingan transportasiku.

 Terkadang diakhir minggu saya berboncengan dengan anakku jalan-jalan berekreasi. Kadang-kadang saya berniat melalui di depan rumah orang tuaku, sembari saya katakan bahwa tersebut rumah opa serta oma. Kerap anakku ajukan pertanyaan, " Ma kapan kita pergi main ke rumah oma-opa? " Saya tak dapat menjawab, lantaran menahan air mata... Walau bagaimanapun saya selalu berdoa, semoga satu waktu nantinya, ke-2 orangtuaku dibukakan pintu hatinya, jikalau tidak ingin terima saya lagi, mohon terima anakku, cucunya, darah daging mereka sendiri.


Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

3 komentar:

  1. kalah muslim dr lahir dng mualaf. subbehannauloh...hatinya mbak kekasih Allah.

    BalasHapus
  2. di palembang kayaknya enggak, ya pontianak

    BalasHapus
  3. di palembang kayaknya enggak, ya pontianak

    BalasHapus